Minggu, 13 Mei 2018

Video Riba, Bank dan Asuransi

Scribe Riba, Bank dan Asuransi

Bab XI Riba, Bank Dan Asuransi by nonvinkarp on Scribd

PPT Riba, Bank dan Asuransi

BAB XI Riba, Bank dan Asuransi



Riba, Bank dan Asuransi
A.    Riba
1.      Pengertian dan Hukum Riba
Kata riba (ar riba) menurut bahasa, yaitu tambahn (az ziyadah) atu kelebihan. Riba menurut istilah adalah suatu akad perjanjian yang terjadi dalam tukar-menukar sesuatu barang yang tidak diketahui sama sekali menurut syarak, atau dalam tukar-menukar itu diayaratkan menerima salah satu dari dua barang apabila terlambat. Syekh Muhammad Abduh mendefinisikan, riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada prang yang meminjam hartanya atau uangnya karena janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Riba dapat terjadi pada utang-utang,pinjaman, gadai, atau sewa-menyewa. Sebagai contoh, Ridwan meminjam uang sebasar
Rp. 20.000,- , pada hari Selasa disepakati dalam setiap satu hari keterlambatan, Ridwan harus mengembalikan uang tersebut denagn tambahan 2%. Maka, hari berikutnya Ridwan harus mengembalikan uangnya menjadi Rp. 20.4000,- . Kelebihan atau tambahan ini disebut dengan riba.
Hukum melakukan riba adalah haram menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak menurut ulama. Keharaman riba terkait dengan sistem bunga dalam jual beli yang bersifat komersial. Di dalam melakukan transaksi atau jual beli, terdapat keuntungan atau bunga tinggi melibihi keumuman atau batas kewajaran, sehingga merugikan pihak-pihak tertentu. Fuad Moch. Fahruddin berpendapat bahwa riba adalah sebuah transaksi pemerasan.
Dasar hukum pengharaman riba menurut Al-Qur’an, sunah dan ijmak para ulama adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
. . . إِنَمَا الْبَيْعُ مِثْلَ الرِّبَوا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَمَ الرِّبَوا . . . {275}
“…Sesumgguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S. Al-Baqarah: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَوا وَيُرْبِى الصَّدَقَتِ وَاللَّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276}
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Q.S. Al-Baqarah: 276)
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَتَأْ كُلُوا الرِّبَوا أّضْعَفًا مُّضَعَفَةً واتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {130}
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Ali Imran: 130)
b. Sunah Rasulullah saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الرِّبَاوَمَوْ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ : هُمْ سَوَاءُ {متفق عليه}
Dari Jabir r.a. ia berkata, ‘Rasulullah saw. telah melaknati orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja’.” (H.R. Muslim)
إِحْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ : قَالُوْا : يَارَسُوْلَ اللَّهُ وَمَاهُنَ قَالَ : الشِّرْكَ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللَّهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَا ، وَاَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ {متفق عليه}
Jauhilah tujuh hal yang membinasakan”. Para sahabat bertanya,”Apakah tujuh hal tersebut ya Rasulullah?” Rasulullah saw. bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat perang, dan menuduh berzina wanita yang suci, beriman, dan lupa (lupa dari maksiat).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Ijmak para ulama
Para ulama sepakat bahwa seluruh umat Islam mengutuk dan mengharamkan riba. Riba adalah salah satu usaha mencari rizeki dengan cara yang tidak benar dan dibenci Allah swt.. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan, menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.
2.      Macam-macam Riba
Para ulama fiqih membagi riba menjadi empat mecam, yaitu:
a. Riba Fadl(رِبَا الفَصْلِ)
Riba fadl adalah tukar-menukar atau jual beli dua buah barang yang sam jenisnya, namun tidak sama ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukatnya. Atau jual beli yang mengandung unsur ribapada barang yang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Sebagai contohnya adalah tukar-menukar emas dengan emas atau beras dengan beras, dan ada kelebihan yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kelebihan yang disyaratkan itu disebit riba fadl. Supaya tuka-menukar seperti ini tidak termasuk riba, maka arus ada tiga syarat yaitu:
1). Barang yang ditukarkan tersebut harus sama.
2). Tibangan atau takarannya harus sama
3). Serah terima pada saat itu juga.


b. Riba Nasi’ah(رِبَا النَّسِيْءَة)
Riba nasi’ah yaitu tukar-menukar dua barang yang sejenis yang maupun tidak sejenis atau jual beli yang pembayarnnya disyaratkan lebih oleh penjual dengan waktu yang dilambatkan. Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding untung pada benda yang ditakar atau yang ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakarda ditimbang yang sama jenisnya. Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual saru kilogram dengan satu setengah kilogram beras ayng dibayarkan setelah dua bulan kemudian. Kelebihan pembayaran yang disyaratkan inilah yang disebut riba nasi’ah.
عَنْ سَمُرَةَبْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّالنَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْءَةً
Dari Samurah bin Jundub sesungguhnya Nabi saw. telah melarang jual beli binatang dengan binatang yang pembayarannya diakhirkan.” (H.R. Lima ahli hadist)
c. Riba Qardi(رِبَا القَرْضِ)
Riba qardi adalah meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan dari orang yang meminjam. Misalnya Ali meminjam uang kepada Abbas sebesar Rp. 10.000,00. Kemudian Abbas mengharuskan kepada Ali untuk mengembalikan uang itu sebesar Rp. 11.000,00. Tambahan Rp. 1.000,00 inilah yang disebut riba qardi.
d. Riba Yad(رِبَا اليَدِ)
Riba yad yaitu berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima. Contohnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa riba yad adalah jual beli yang mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang berakad sebelum serah terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama Syafi’iyah bahwa antara riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak jelas. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar.Dasar hadits yang mengungkapkan ketertolakan sistem ini adalah:
إِنَّمَا الرِّبَا فِى النَّسِيْئَةِ {رواه البحارى و مسلم}Tidak ada riba kecuali pada riba nasi’ah.” (H.R. Bukhari Muslim)
3.      Hikmah Pelarangan Riba
Diharamkan hikmah diharamkannya riba yaitu:
a. Menghindari tipu daya diantara sesama manusia.
b. Melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batil.
c. Memotifasi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat menimbulkan kesulitan dan kemarahan diantara kaum muslimin.
d. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim.
e. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan karena pemakan riba adalah orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
f. Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang muslim agar ia mancari bekal untuk akhirat.
4.      Menjauhkan Praktik Riba
Karena riba adalah sesuatu yang diharamkan, maka menjauhkan diri dari praktik riba adalah sesutu yang sangat mulia dan beroleh pahala. Agar kita dapat manjauhkan diri dari praktik riba maka yang harus dilakukan adalah :
a. Membiasakan hidup sederhana, tidak boros.
b. Membiasakan diri menabung apabila ada kelebihan rezeki dari Allah swt.
c. Menghindarkan diri dari berfoya-foya selagi ada kelebihan
d. Menghindari kebiasaan berhutang.
e. Mengadakan usaha bersama dibidang ekonomi, seperti koperasi di sekolah atau di masyarakat.
f. Rajin mensyukuri nikmat Allah swt. dengan cara memanfaatkan untuk kebaikan serta tidak menyia-nyiakan nikmat tersebut.
g. Melakukan praktik jual beli dan utang piutang secara baik menurut Islam.




B.     Bank
1.      Pengertian  Bank
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang bank, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam menurut Dr. Fuad Moh. Fachruddin, bank adalah suatu perusahaan yang memperdayagunakan hutang-piutang, baik yang merupakan uangnya sendiri maupun orang lain. Bank memperedarkan uang untuk kepentingan umum, tidak membekukannya, dan tidak pula menimbun kekayaan dalam satu tangan. Bank merupakan tempat penyimpanan yang terbaik dan aman, serta tempat meminjam (dana) yang teratur. Oleh karena itu, bank menolong manusia dalam menghadapi esulitan keuangan pada umumnya.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi bank adalah sebagai berikut :
a. Menyimpan dana masyarakat.
b. Menyalurkan dana masyarakat ke publik.
c. Memperdagangkan utang piutang.
d. Mengatur dan menjaga stabilitas peredaran uang.
e. Tempat menyimpan hata kekayaan (uang dan surat berharga) yang terbaik dan aman.
f. Menolong manusia dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan.
2.      Dasar Hukum Bank
Karena bank adalah masalah baru dalam khazanah hukum Islam, maka para ulama masih memperdebatkan keabsahan sebuah bank.berikut inibabarapa pandangan mengenai hukum perbankan, yaitu mengharamkan, tidak mengharamkan, dan syubhat (samar-samar).
a. Kelompok yang mengharamkan
Ulama yang mengharamkan riba di antaranya adalah Abu Zahra (guru besar Fakultas Hukum, Kairo, Mesir), Abu A’la al-Maududi (ulama Pakistan), dan Muhammad Abdullah al-A’rabi (Kairo). Mereka berpendapat bahwa hukum bank adalah haram, sehingga kaum Muslimin dilarang mengadakan hubungan dengan bank yang memakai sisitem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa.
Keharaman bank dikaitkan dengan pemberian bunga bank terhadap nasabah. Bunga bank dalam pandangan para ulama ini adalah riba nasi’ah, sedangkan riba nasi’ah terlarang dalam hukum Islam. Maka dari itu, hukum bank adalah haram.
b. Kelompok yang tidak mengharamkan
Ulama yang ridak mengharamkan di antaranya adalah Syekh Muhammad Syaltut dan A. Hassan. Mereka mengatakan bahwa kegiatan bermuamalah kaum Muslimin dengan bank bukan merupakan perbuatan yang dilarang. Bunga bank di Indonesia tidak bersifat ganda, sebagaimana digambarkan dalam Q.S. Ali Imran ayat 130.
c. Kelompok yang menganggap syubhat (samar)
Bank merupakan perkara yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam Islam karena bank merupakan sebuah produk baru yang tidak ada nasnya. Hal-hal yang belum ada nas dan masih diragukan ini yang dimaksud dengan barang syubhat (samar).
Karena untuk kepentingan umum atau manfaat sosial yang sangat berarti bagi umat, maka berdasarkan kadah usul (maslahah mursalah), bank masih tetap digunakan dan dibolehkan. Namun ketentuan ini hanya untuk bank pemerintah (nonswasta), dan tidak berlaku untuk bank swasta dengan alasan tingkat kerugian pada bank swasta sangat tinggi dibanding dengan bank pemerintah.
3.      Jenis-jenis Bank
a.       Bank Konvensional (dengan sistem bunga). Bank dengan sistem bunga (Konvensional) ada dua jenis, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat
b.      Bank Usaha Prekeditan Rakyat. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992, bank usaha perkreditan rakyat meliputi:
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk yang lain yang dipersamakan dengan itu.
2) Memberikan kredit.
3) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi keuntungan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, atau tabungan pada pihak bank lain.
c. Bank Syari’ah, merupakan suatu bentuk yang dalam aktivitasnya, baik dala, penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
     Produk Perbankan Syariah
a.       Produk Penyaluran dana
1.      Prinsip Jual beli (Ba’i) transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang, seperti: pembiayaan murabahah, salam, dan ishtisna.
2.      Prinsip Sewa (Ijarah)
3.      Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) didalamnya ada musyarakah dan mudhabarah.

C.    Asuransi
1.      Pengertian Asuransi
Istilah asuransi seringkali dasamakan dengan istilah pertanggungan (kafalah). Pengertian tersebut dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 1 UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasurasian.
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengingatkan diri pada tertanggung dengan menerima premiasuransi, untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Dari pengertian di atas dapat dikemukakan bahwa asuransi pada dasarnya adalah pertanggungan dan ikhtiar seseorang dalam rangka menanggulangi resiko atau akibat-akibat dari terjadinya sebuah peristiwa yang tidak diinginkan (diharapkan) terjadi, namun terjadi.
Menurut pasal KUPD, asuransi adalah suatu perjanjian (akad) antara seseorang yang mempertanggungkan sesuatu dengan seorang penanggung atau asurator. Menurut perjanjian ini, si penanggung menerima premi, yakni semacam pembayaran, baik sekaligus maupun berkala dari orang yang mempertanggungkan itu, dan dia berjanji akan mengganti kerugian yang mungkin diderita oleh si mempertanggungkan karena kejadian kelak (kemudian hari) yang sebelumnya tidak dapat ditentukan dan diketahui oleh siapa pun, seperti kebakaran, kehilangan, dan kerusakan.
2.      Dasar Hukum Asuransi
Ketentuan mengenai asuransi masuk dalam kategori objek ijtihad karena ketidakjelasan ketentuan hukumnya. Hal ini terjadi karena memang ketetuan mengenai asuransi, aik di dalam al-qur’an maupun hadits Nabi saw., termasuk para ulama tidak banyak yang membicarakannya.
Untuk mengeluarkan sebuah produk hukum ijtihad, dapat menggunakan berbagai cara, antara lain menggunakan konsep maslahah mursalah atau dengan cara kias (metode analgis). Berdasarkan hasil ijtihad para ulama dengan menggunakan metode ini maka dasar hukum asuransi di lingkungan ulama muncul beragam atau berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pendapat pertama, mengatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan hukum. Artinya, melakukan akad asuransi tidak dibolehkan. Ulama yang mengharamkan asuransi ini adalah Abdullah al-Qalqili dan Muhammad Yusuf al-Qardawi.
b. Pendapat kedua, menyatakan bahwa asuransi dengan sagala bentuk perwujudannya dapat diterima dalam syariat Islam. Ulama yang mendukung pendapat ini adalah Abdul Wahab Khallaf dan Mustafa Ahmad Zarqa (Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Kairo).
c. Pendapat ketiga, mengatakan bahwa asuransi sosial diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial tidak diperdolehkan, kaena bertentangan dengan syariat Islam. Pendapat ini didukung oleh ulama Abu Zahrah.
d. Pendapat keempat, mengatakan bahwa asuransi dengan segala bentk perwujudannya dipandang syubhat. Pendapat tersebut didukun oleh K.H. Ahmad Azhar Basyir (Indonesia).
Dari berbagai keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa asuransi dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Artinya, hendaknya berdasarkan asa gotong royong (ta’awun) dan perjanjian-perjanjian yang dibuat benar-benar bersifat tolong-menolong, bukan untuk mencari laba atau keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia yang ditulis oleh Vide Wirjono Prodjadikoro, dijelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan), bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari satu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
3.      Macam-macam Asuransi
Social insurance lebih dianjurkan daripada bentuk-bentuk asuransi lain yang tidak jelas status hukumnya. Di Indonesia terdapat dua asuransi, yaitu asuransi sosial dan takaful. Asuransi sosial adalah asuransi pemerintah yang merupakan tuntunan UU 1945, khususnya pasal kesejahteraan sosial. Asuransi takaful merupakan lembaga asuransi yang berbasis Islam. Pembahasan kedua modal asuransi (sosial dan takaful) dirasa lebih cocok dan diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia.
Asuransi sosial memiliki kekhususan tersendiri, diantaranya:
a. Penyelenggara pertanggungan (asuransi) adalah pemerinta.
a) Sifat hukum pertanggungan itu adalah wajib bagi seluruh anggota masyarakat atau sebagai anggota tertentu masyarakat. Misalnya, bagi para penumpang kendaraan, baik laut, darat maupun udara.
b) Penentuan penggantian kerugian diatur oleh pemerintah dengan peraturan khusus yang dibuat untuk itu.
c) Tujuan asuransi memberikan suatu jaminan sosial (social security), bukan untuk mencari keuntungan.
4.      Hikmah Asuransi
a. Mempunyai akad takafuli (tolong-menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan atas musbah yang akan datang.
b. Dana yang terkumpul menjadi amanah pengeloladana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen syariah seperti mudarabah, wakalah, wad’ah, dan murabahah.
c. Premi memiliki unsur tabaruq atau mortalita (harapan hidup).
d. Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30% dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama yang memiliki nilai 70% dari premi.
e. Dari rekening tabarru’ (dana kebijakan seluruh peserta) sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong-menolong bila terjadi musibah.
f. Mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk di mana apabila terjadi musibah, maka semua peserta ikut saling menanggung dan membantu.
g. Keuntngan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah), atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk dengan memberikan hadiah kepada peserta dan upah (fee) kepada pengelola.
h. Mempunyai misi akidah, sosia serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi istiqadi.